Monday, April 29, 2013

Deleted soonly


Raja Bijaksana Ibu
Angin bertiup lembut menerobos ranting di sore hari yang teduh saat ini. Sinar matahari menyeruak keluar dari celah dedaunan. Meskipun sudah sore namun jalan raya tetap jalan raya, padat, banyak kendaraan berlalu-lalang.
            “ Ibu, ayo kita menyeberang sekarang!”
            “Iya nak, tunggu sebentar tas ibu berat.”
            “Baik bu, “
            “Nah, ayo sekarang kita menyeberang. Ingat ya kalau menyeberang itu lewat zebra cross supaya kita dilindungi oleh pemerintah.” Ibu berpesan.

Alvin menatap kebingungan dan tampak penasaran. Bukan persoalan  kebingungan arti zebra cross karena ia tahu pasti garis loreng-loreng putih itu yang disebut dengan zebra cross. Anak kecil berumur enam tahun itu bingung bagaimana bisa benda seperti itu dapat melindungi kita? Dan apa itu undang-undang?
            Ia pun bertanya, “ Ibu, bagaimana bisa dia melindungi kita?”
            Ibu menjawab, “ Hm… Pemerintah itu memimpin dan melindungi kita lewat perintahnya. Perintah itu akan diawasi oleh seorang hakim yang agung dan bijaksana,”
            Deangan cepat Alvin menjawab, “ Seperti perintah seorang raja ya bu? Yang dapat memerintah rakyatnya dengan baik jadi kita tidak perlu takut pada musuh karena raja telah melindungi kita? Iya ya bu?”
Ibu tersenyum hangat seraya mengangguk. Alvin dan ibunya melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampailah mereka di rumah. Sinar oranye kian menghilang dan semakin larut ditelan hitam Alvin yang telah pergi seharian menjadi kelelahan. Setelah berganti baju dan makan ia bergegas tidur. Ibu duduk di samping ranjang Alvin sejenak untuk mengingatkan Alvin supaya berdoa sebelum tidur.
            “Bu…” kata Alvin
            “Iya Alvin, ada apa? Kamu tidak lupa untuk berdoa kan?” kata Ibu
            “Sudah berdoa kok bu,” berhenti sejenak lalu Alvin melanjutkan, “ Bu Alvin ingin menjadi seorang hakim. Boleh nggak bu?”
Ibu tersenyum dan mengusap rambut anak kesayangannya sejenak dan berkata,
“Boleh, asalkan kamu harus seperti raja yang baik, yang melindungi rakyatnya dengan adil dan bijaksana.”
            “Nah sekarang tidurlah dan tambah doamu untuk mencapai cita-cita menjadi hakim.” Lanjut ibu.
Alvin mengangguk dan mengangkat tangan mungilnya seraya berdoa menggumamkan sesuatu lalu tertidur lelap.
***
            Akhir-akhir ini kuperhatikan anak itu jadi sering mengamati segala hal berbau hukum, apa mungkin ini pertanda ia mulai serius menekuni cita-citanya?
“Alvin, kamu tidak mau bermain keluar bersama teman-temanmu? Ibu rasa hujan sudah reda,” kataku pada Alvin.
“Em.. nanti aja bu, beritanya nggak bisa diulang, mau lihat ini sebentar,” jawab Alvin.
“ Bu, Alvin bingung deh, tadi itu pembawa beritanya bilang ada kakek yang harus berhadapan dengan meja hijau. Alvin lihat kok nggak ada warna meja yang hijau ya?” lanjutnya.
“Hehehe itu hanya kiasan, nak.” Jawabku sambil menahan tawa karena kepolosan anak itu.
***
Ada hakim, saksi, tersangka, dan yang lainnya di dalam kotak kecil ini. Sekiraku aka nada kasus penting di sini. Sebelumnya aku sudah melihat persoalan tentang seseorang yang korupsi. Aku anak kelas tiga SD dan aku merasa sudah cukup pintar mengerti tantang berita tapi tetap saja tidak mengerti apa itu arti korupsi. Setelah kutanya ke ibu, ibu hanya menjawab,
“Korupsi itu… ada orang-orang yang mencuri uang bukan miliknya. Memang kenapa?”
Karena melihat raut wajah ibu yang sedikit khawatir aku lebih memilih menjawab
“Nggak papa bu, Cuma ingin tahu.”
Sekarang setelah kupahami ceritanya di pengadilan itu ada seorang kakek yang dihukum kurungan penjara karena mengambil.”
***
Ibu pulang dari mengantarkan makanan ke tetangga sebelah. Baru sekarang ibu sempat mengantarkan karena sudah dua hari ini berturut-turut setiap sore turun hujan deras. Hal itu juga yang membuat Alvin kehilangan momen bermainnya.
Tidak seperti biasanya suasana rumah sederhana yang biasanya ramai oleh suara celoteh Alvin. Rupanya anak kecil itu duduk menunduk di sudut sofa di ruang tamu. Sepertinya ia sengaja menunggu kehadiran ibunya.
“Bu, kenapa kakek tadi dihukum Bu?”
“Kenapa Om-om  tadi senyum-senyum waktu di hukum?”
“Bu, jawab bu, Alvin ingin tahu. Kenapa bu, hakim bisa menjadi seperti itu?”
Kaget serta bingung menghampiri Ibu anak itu. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Pertanyaan ini begitu tiba-tiba ditambah dengan raut wajah anak satu-satunya yang penuh ragam ekspresi yang sulit untuk ditebak.
“Nak, orang salah memang harus dihukum. Kakek yang kamu lihat di televise kemarin sudah mengambil semangka milik orang lain oleh karena itu beliau harus dihukum. Om itu juga sudah melakukan korupsi dan harjs dihukum.”
“Alvin ngerti orang bersalah harus dihukum,” jawab Alvin.
“Tapi bu, raja yang adil dan bijak akan membantu rakyat yang kesulitan. Bukankah kakek itu sudah tidak bisa lagi bekerja dan om tadi masih dapat bekerja dengan kuat? Kenapa Kakek dihukum lebih berat dari Om yang bangga mengambil uang kita semua, uang rakyat?”
Tiba-tiba tanpa diduga anak polos itu menangis.
“Bu, polisi juga ikut-ikutan menangkap kakek tua itu. Kakek itu kan sudah tua dan tidak dapat bekerja. Kenapa harus dihukum lebih berat dari yang mencuri uang banyak?”
Bahunya bergetar menahan gejolak rasa yang timbul. Ibu kaget melihat begitu hebatnya akibat yang ditimbulkan oleh kebenaran itu. Ia pun tidak dapat berkata apa-apa dan hanya mampu menggapai anak terkasihnya untuk dipeluk dan berbisik lirih
“Alvin, maafkan ibu, semuanya itu ada baik dan buruk. Ada raja yang baik dan raja yang jahat.”
“Kamu Alvin, anak ibu yang baik. Jadilah raja yang baik,” kata ibu menenangkan Alvin
***
Siang itu terasa seperti fatamorgana berada di setiap sudut kota. Pandangan serasa bergelombang kabur tak jelas. Memang hari itu suhu kota melebihi derajat rata-rata. Kareni panasnya siang hari itu maka Alvin memutuskan beristirahat sebentar sebelum menyeberang jalan. Ia melihat ada buah mangga menggelinding tepat di depannya. Buah segar itu berasal dari pohon taman kota yang berada di dekatnya. Ketika hendak mengambil buah tersebut sekilas ia melihat sosok berbaju cokelat berperawakan tinggi dan tegap.
Alvin tak mengerti mengapa muncul perasaan aneh saat melihat orang itu. Semacam perasaan takut dan waspada sehingga ia memutuskan untuk segera pergi dan menyeberang dan pergi sesegera mungkin dari tempat itu.Ia melihat mangga di tangannya dan tiba-tiba teringat kisah kakek-kakek di meja hijau maka ditaruh kembali buah itu dan bersegera untuk lari.
“Hei Nak, tunggu dulu,” teriak seorang polisi tersebut.
Sambil menoleh ke belakang ia tetap berlari kencang ke depan dan tanpa ia sadar ia berlari ke suatu arah yang tidak dikehendakinya.
“Nak, hati-hati tunggu sebentar, kau lebih baik lewat zebra….”
            BRAAKK!
***
Bangublah nak, bangun, bangunlah meskipun dunia tak seindah surge. Ibu di sini sendirian tanpa kamu. Jangan berpikiran untuk pergi.
***
Samar-samar terlihat jemari mungil itu bergerak rapuh. Ibu terkesiap dan memandang penuh harap. Rupanya Alvin setelah beberapa hari ini tak sadarkan diri ia akan siuman. Alvin membuka matanya perlahan dan berkata,
“Bu, saya mau jadi raja yang baik bu.”
“Iya Nak, makanya kamu harus berusaha keras untuk sembuh,” kata ibu serak.
Anak yang masih innocent itu hanya mampu menjawab dengan senyuman dan sekilas kepalanya bergerak. Ibu hanya dapat berdoa dan menggenggam erat tangan Alvin seolah tak mau dilepasnya buah hati tercintanya. Lalu Alvin memejamkan matanya kembali. Suara mesin nyaring berbunyi mengagetkan Ibu. Ibu yang kebingungan itu segera memanggil dokter. Ketka dokter datang raut wajah sang dokter menjadi mendung.Sekonyong-konyong Ibu menggeleng perlahan dengan tatapan tanpa gairah hidup”
“Nak, jadilah raja yang sebaik-baiknya raja di surge.”
Setengah tidak percaya Ibu sungguh kecewa cita-cita mulia anaknya kandas di tengah jalan dan hanya dapat terwujud di dunia abadi nun jauh di sana. Seketika itu juga Ibu berteriak histeris lalu pingsan.

No comments:

Post a Comment